Pola Transisi Gizi Manusia, Bagaimana Kaitannya dengan Obesitas?

Nadhifa Aulia Arnesya
9 min readAug 31, 2021
Konsumsi makanan bergizi seimbang dianjurkan untuk mendukung fungsi fisiologis tubuh (pexels.com/@mikhail-nilov)

“It is not the strongest of the species that survives, not the most intelligent that survives. It is the one that is the most adaptable to change.” –Charles Darwin

Ekspedisi ke Pulau Galapagos bersama sang kakek mengilhami pemikiran besar pada benak Charles Darwin, yang mampu menggebrak cara pandang dunia dalam sains. Berbagai spesies dengan morfologi unik di pulau terisolasi ini dia amati secara saksama. Didukung laporan hasil pengamatan yang dikirim Alfred Russel Wallace dari Indonesia, Darwin menggagas hipotesis bahwa spesies berevolusi dari waktu ke waktu, dalam periode yang sangat lama.

Setelah memantik perdebatan sengit di antara para ilmuwan, hasil ekstraksi pemikiran Darwin selanjutnya berkembang menjadi teori yang kini merupakan tema besar ilmu biologi. Teori evolusi Darwin dijelaskan melalui sebuah mekanisme yang disebut seleksi alam, di mana sifat yang menguntungkan akan dipertahankan dalam spesies sehingga mereka mampu sintas dalam lingkungan.

Pemikiran Darwin dinilai sedemikian penting. Seperti penggalan kalimat di dalam buku On the Origin of The Species karangannya, “Bukan yang paling kuat dalam sebuah spesies-lah yang dapat menyintas, bukan pula yang paling cerdas. Namun, dia yang dapat beradaptasi untuk berubah”.

Kini semuanya menjadi sedikit lebih jelas, ide mengenai awal mula kehidupan perlahan mulai terungkap. Evolusi, secara luas, dianggap sebagai perangkat penting dalam kehidupan spesies yang, produk hasilnya, memungkinkan organisme untuk bertahan hidup.

Bagaimanapun, evolusi tak sepenuhnya menceritakan kisah kesuksesan. Sapiens, contohnya. Keberhasilan evolusi Sapiens justru bertransformasi sebagai ancaman nyata bagi ekologi. Hasrat mereka untuk sintas menciptakan keegoisan yang mendorong kepunahan spesies lainnya, termasuk saudara mereka sendiri, Neandhertal.

Di sisi lain, perkembangan peradaban umat manusia juga memicu pergeseran pola dan kebiasaan makan yang membawa dampak tertentu, terutama di bidang kesehatan. Peningkatan insiden kegemukan dan obesitas di seluruh dunia, yang umumnya diakibatkan oleh tinggi konsumsi pola makan berdensitas energi, terjadi berparalel dengan peningkatan penyakit degeneratif yang menjadi salah satu penyebab kematian paling tinggi pada skala global. Beban ini tak hanya dirasakan oleh sektor kesehatan, namun juga merambat ke sektor ekonomi dan lainnya.

Dalam jangka panjang, tanpa mitigasi yang tepat, kematian massal akibat penyakit degeneratif dapat dimungkinkan terjadi. Pemetaan pergeseran pola makan masyarakat, dengan demikian, menjadi sangat esensial. Sebagai sosok pioneer, di tahun 1993, Barry Popkin mencoba mengusulkan model tahapan transisi gizi untuk memahami pola pergeseran gizi masyarakat di dunia, yang selanjutnya diharapkan dapat merumuskan strategi preventif baik di skala global, maupun nasional.

Pola 1: Berburu-Meramu

Ilustrasi masyarakat pemburu-peramu (pexels.com/@kelly-lacy)

Sekitar enam juta tahun silam, nenek moyang sapiens modern saling terpisah dan memutuskan untuk menjalani kehidupan masing-masing. Tinggal di habitat dengan karakteristik yang berlainan ternyata mendorong perubahan fenotip yang sama sekali berbeda pada keturunan mereka. Para leluhur sapiens modern konon terisolasi di sebuah padang rumput yang luas di kawasan Afrika Utara, ini disinyalir menjadi permulaan bagi Homo sapiens modern dengan tingkat kognisi di atas rata-rata yang berhasil menduduki puncak rantai makanan.

Namun, tak ada perubahan dramatis yang terjadi dalam semalam. Sebelum mencapai peradaban modern, mereka terlebih dahulu merangkak dari posisi terendah dalam rantai makanan sembari merasa was-was diburu para singa yang rakus untuk kemudian dijadikan sebagai santap siang, atau petang, atau sarapan mereka. Akan tetapi, tekad para leluhur untuk hidup jauh, dimotori mesin DNA yang egois, melebihi rasa takut dimangsa para penguasa hutan.

Mereka paham betul, gengsi dan ego yang tinggi tak akan mengantar mereka pada kehidupan, melainkan membuat mereka sengsara karena kelaparan. Guna bertahan, para hominidae berkelana mengais apapun yang dapat dimakan — termasuk tanaman liar dan bangkai hewan sisa terkaman singa, cheetah, dan para pemburu di puncak rantai makanan.

Demi efisiensi, hominidae berbagi tugas satu sama lain. Para hominidae jantan, yang desain tubuhnya lebih mumpuni karena persentase massa otot yang lebih besar, bertugas berburu sumber daya. Di lain sisi, para hominidae betina fokus mengerjakan tugas domestik, seperti mengolah hasil buruan, menjaga hunian, atau mengasuh anak.

Masyarakat pemburu-peramu, demikian sebutan untuk kaum ini, tinggal secara nomaden. Mereka mengembara dari habitat satu ke habitat lainnya lantaran sumber daya di tiap kawasan sangat terbatas. Karakteristik makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat ini adalah makanan tinggi karbohidrat dan rendah lemak, terutama lemak jenuh.

Meskipun kesehatan harus dibayar mahal, mereka tak punya pilihan selain menelan makanan mentah penuh parasit, sekalipun nyawa taruhannya. Penyakit infeksi tak pelak menjadi penyebab kematian nomor satu di kalangan masyarakat pemburu peramu. Kemalangan tak berhenti sampai di situ. Kegagalan mendapatkan makanan pun menyebabkan periode kelaparan yang panjang. Konsekuensinya, prevalensi underweight, bahkan gizi buruk, cukup tinggi di kalangan masyarakat.

Di balik kengerian penyakit infeksi dan malnutrisi yang mengintai, masyarakat pemburu peramu tetap memiliki keunggulan. Mereka sangat aktif secara fisik lantaran perlu menempuh perjalanan jauh untuk mencari sumber daya makanan. Secara motorik, mereka tentu gesit dan lihai dalam bermain petak umpat dengan hewan pemburu, musuh nomor satu nenek moyang kita. Alhasil, mereka terbebas dari ancaman diabetes, kanker, penyakit jantung dan pembuluh darah, atau penyakit degeneratif lainnya. Bentuk badan mereka juga cenderung kurus dan kekar, prevalensi kegemukan dan obesitas diprediksi sangat rendah.

Pola 2: Masa Awal Agrikultur

Potret masyarakat agrikultur (pexels.com/@polina-chistyakova)

Begitu berhasil menjinakkan api sekitar 800.000 tahun silam, transisi dramatis terjadi. Penggunaan api menjadi batu loncatan yang memicu perubahan signifikan pada hominidae, termasuk kenaikan angka harapan hidup dan revolusi kognitif.

Mengolah makanan dengan api terbukti menghemat waktu untuk mengunyah sebab kalor dari api mampu menyederhanakan bentuk kimia makanan, sehingga teksturnya menjadi lebih lembut. Hal ini tentunya memudahkan pencernaan di dalam usus, yang dalam jangka waktu panjang, ukurannya memendek.

Usus yang panjang dinilai sangat boros energi. Para peneliti mengajukan hipotesis bahwa, seiring memendeknya usus, penggunaan energi akhirnya dialokasikan ke otak yang dewasa ini mengonsumsi sekitar 80% dari total energi basal manusia. Hal ini secara tak langsung memicu peningkatan volume otak. Kemudian, entah persisnya kapan, mutasi acak terjadi di otak sehingga mendorong revolusi kognitif yang memungkinkan manusia jauh lebih unggul secara kognitif dibandingkan spesies lain, bahkan sepupunya sendiri.

Selain itu, api memungkinkan eradikasi sebagian patogen yang tidak tahan panas. Tingkat mortalitas dan morbiditas akibat infeksi parasit, oleh sebabnya, menurun cukup signifikan. Penyakit infeksi bukannya punah dari kehidupan masyarakat. Namun, saat ini muncul fenomena endemi, di mana wabah seperti polio dan smallpox terjadi hanya di wilayah tertentu saja. Karakteristik demografi masyarakat agrikultur yang sedenter menjadi faktor utama penyebab fenomena ini.

Seiring terjalinnya persahabatan antara api dengan manusia, hal ini juga memicu revolusi pertanian yang mengubah pola hidup masyarakat dari pemburu-peramu, menjadi petani yang menggarap ladang. Domestikasi beberapa spesies tanaman, dan hewan, membuat hidup mereka jauh lebih mudah. Mereka kini memiliki tempat tinggal tetap, membangun perkampungan yang terdiri dari beberapa klan yang saling hidup berdampingan. Karenanya, tingkat fertilitas dan angka kelahiran pun meningkat. Namun selagi sibuk memutuskan pemimpin dan sistem pemerintahan, mereka tak sadar bahwa bahaya kesehatan lain siap menyerang.

Periode gagal panen menjadi musuh utama masyarakat agrikultur. Kelangkaan pangan dan kelaparan kronis pun menjadi dampak yang tak terhindarkan. Masyarakat yang cenderung hanya mendomestikasi satu atau dua jenis pangan, seperti serealia, mulai mengalami penyakit defisiensi gizi. Karena bagaimanapun, manusia dianjurkan untuk mengonsumsi jenis makanan yang berbeda. Tak ada satupun makanan yang mengandung zat gizi lengkap.

Pola 3: Industrialisasi Menyurutkan Tingkat Kelaparan

Penemuan mesin uap memicu revolusi industri pertama (pexels.com/pixabay)

Penemuan mesin uap di Inggris pada awal abad ke-18, yang kemudian menyebar ke penjuru Eropa dan Amerika Serikat, menjadi titik balik dunia agrikultur di tengah masyarakat. Proses manufaktur yang ditenagai mesin uap memicu revolusi industri yang menjadi sendi utama ekonomi.

Pabrik yang mulai menjamur tak mungkin beroperasi mandiri --kecuali pada revolusi industri 4.0 yang dimungkinkan dengan kemunculan artificial intelligence. Masyarakat agraris bertransformasi menjadi masyarakat industri yang menghabiskan banyak waktu di pabrik. Sayangnya, profesi buruh tak mensyaratkan banyak aktivitas fisik, berbeda sama sekali seperti saat mereka bekerja di ladang.

Pola kerja 9–5 juga memaksa mereka untuk mencari alternatif pengolahan makanan yang lebih praktis. Dari sini, muncullah teknologi pangan yang cukup canggih, seperti pengeringan, pengalengan, atau penggaraman. Proses pengawetan makanan memungkinkan terjaminnya persediaan makanan untuk masa depan. Dengan demikian, lambat laun, tingkat kelaparan kronis mulai menurun.

Pertanian dan peternakan tak lantas ditinggalkan begitu saja. Bahkan, keunggulan teknologi membawa angin segar bagi sektor agrikultur. Pada masa ini tercatat adanya peningkatan konsumsi buah, sayuran, dan protein hewani di tengah masyarakat. Selain itu, konsumsi makanan pokok yang mengandung banyak karbohidrat juga mulai menurun. Keragaman pangan masyarakat pada akhirnya memberantas penyakit defisiensi yang sempat menyerang mereka sebelumnya.

Tak hanya itu, sanitasi lingkungan dan higienitas individu juga mulai diperhatikan. Meskipun begitu, penyakit infeksi masih hadir di tengah masyarakat, setidaknya sampai penemuan vaksin dan antibiotik. Taraf hidup masyarakat perlahan membaik. Hal ini tercermin dari menurunnya angka mortalitas. Struktur masyarakat, oleh karenanya, mulai bergeser ke populasi lanjut usia.

Pola 4: Munculnya Era Penyakit Degeneratif

Konsumsi makanan densitas energi dan rendahnya aktivitas fisik menjadi karakteristik masyarakat modern (pexels.com/KoolShooter)

Akhirnya petualangan kita sampai pada peradaban modern. Dunia yang, hanya jika Anda membaca ini di abad ke-21, kita tinggali dengan segala hingar bingarnya berkat dorongan disrupsi teknologi di masa revolusi industri ke-empat.

Mari ucapkan selamat tinggal pada segala hal yang bersifat konvensional di masa ini. Anak cucu Sapiens kini tak perlu hidup bersusah payah seperti nenek moyangnya. Mereka bak putri raja yang kelewat manja lantaran kehadiran para pelayan yang siap sedia memenuhi setiap kebutuhannya.

Kehadiran teknologi serba canggih menjelma menjadi dua sisi mata pisau. Perlahan, aktivitas fisik mulai tereduksi sehingga gaya hidup sedenter menjadi norma di tengah masyarakat. Produksi makanan cepat saji secara massal mendukung tingginya konsumsi makanan kaya karbohidrat dan lemak, terutama lemak jenuh dan kolesterol, namun miskin zat gizi lain.

Ini bukan tanpa alasan, makanan berlemak sudah lama menyandang reputasi yang baik dalam segi organoleptik, mengungguli makanan sehat pada umumnya. Belum lagi strategi marketing yang memborbardir pikiran bawah sadar masyarakat, serta harganya yang kelewat terjangkau, setidaknya di negara-negara maju, seperti Amerika. Belum lagi aplikasi pesan antar yang kini menjamur dan terintegrasi dalam gaya hidup masyarakat, sehingga ikut berkontribusi dalam penurunan aktivitas fisik bahkan pada level yang mengkawatirkan.

Tentu saja ada biaya mahal yang harus dibayar atas munculnya fenomena ini. Obesitas dan penyakit penyertanya kini menjadi endemi yang merenggut banyak nyawa di seluruh dunia. Obesitas, didefinisikan sebagai indeks massa tubuh (IMT) sama dengan atau lebih dari 30 kg/m2, merupakan faktor risiko penyakit degeneratif, seperti stroke, aneurisma, hipertensi, atau diabetes mellitus tipe 2. Pada tahun 2020, WHO melaporkan bahwa serangan jantung (ischaemic heart disease), stroke, diabetes mellitus, dan gagal ginjal berada pada 10 deretan penyebab meninggal terbanyak di dunia.

Beban ini tak hanya dirasakan oleh sektor kesehatan, melainkan juga oleh sektor ekonomi. Biaya perawatan kesehatan yang ditanggung pemerintah akibat obesitas terbukti meningkat dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1998 hingga 2006, di Amerika Serikat terjadi kenaikan biaya kesehatan akibat obesitas sebesar 4%. Di tahun 2016, total biaya ini nyaris mencapai 86 milyar dollar dalam setahun.

Selain biaya langsung (direct cost), terdapat pula biaya tidak langsung (indirect cost) yang ditimbulkan akibat obesitas. Di antaranya adalah biaya produktivitas (productivity cost) yang hilang ketika tidak bekerja karena menjalani perawatan kesehatan, kenaikan biaya premi asuransi lantaran memiliki risiko kesehatan yang tinggi, serta gaji yang kecil. Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara obesitas dengan gaji yang rendah. Hal ini diungkap dalam Harvard School of Public Health.

Strategi penanggulangan obesitas kian digalakkan untuk mencegah keruntuhan kesehatan masyarakat. Di beberapa negara, upaya ini digerakkan lebih agresif, seperti penerapan sugar tax pada minuman manis di Inggris. Promosi kesehatan yang meliputi informasi mengenai gaya hidup sehat juga kerap digaungkan, baik di dalam lingkup institusi kesehatan hingga melalui berbagai kanal media sosial.

Dampaknya memang tak tampak secara menyeluruh, namun di beberapa negara strategi ini cukup efektif untuk merevolusi pola hidup masyarakat. Oleh karenanya, mereka berhasil memasuki pola 5, yaitu Perubahan Perilaku yang ditandai dengan pola gizi seimbang serta aktivitas fisik sesuai rekomendasi.

Olahraga rutin dapat memerpanjang angka harapan hidup (pexels.com/William Choquette)

Untuk mencapai pola 5 pada transisi gizi secara global, kita perlu memulai dari diri sendiri. Coba refleksikan seberapa jauh kita terlena akibat kemudahan teknologi. Alih-alih membiarkan diri tenggelam terlalu dalam, mulai lakukan apa yang bisa kita lakukan. Tantang diri kita untuk melihat jauh ke depan, dan memutuskan untuk merealisasikan perubahan. Transformasi ini tentu tampak sulit, namun bukan berarti kita tak mampu melakukannya. Langkah kecil sekalipun dapat menggerakkan kita dalam perjalanan panjang, asal kita konsisten melakukannya.

--

--